Profil Masyarakat
Dayak Hibun
Dayak Hibun atau sering juga dikenal dengan istilah populernya Dayak Ribun adalah kelompok masyarakat subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau yang dapat di jumpai pada beberapa kecamatan seperti Kecamatan Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Bonti dan Kembayan.
Kabupaten Sanggau terdiri dari 15 Kecamatan, yakni Kecamatan Kapuas, Mukok, Noyan, Jangkang, Bonti, Beduai, Sekayam, Kembayan, Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Balai, Toba, Meliau dan Entikong. Kabupaten Sanggau adalah salah satu dari Kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Barat dengan Ibukota di Sanggau, terletak diantara koordinat 1o 10 menit Lintang Utara – 0o 35 menit Lintang Selatan serta diantara 109o 45 menit – 111o 11 menit Bujur Timur dengan luas 12.857,70 Km2 atau sekitar 12,47% dari luas seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Wilayah penyebarannya Dayak Hibun terdapat pada 95 kampung pada 5 wilayah kecamatan ini. Orang Hibun dikenal karena luasnya wilayah sebaran penduduknya, keberanian mereka dalam mengayau serta ciri bahasa yang dituturkannya. Ciri tersendiri dari bahasa Dayak Hibun adalah menggantikan konsonan (r) menjadi konsonan (h) baik pada posisi awal kata, tengah maupun akhir kata . Oleh karena mereka menyebut dirinya sebagai Dayak Hibun, walapun beberapa dokumen tertulis dan atau orang luar menyebutkannya sebagai Dayak Ribun. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan istilah Dayak Hibun.
Tembawang
Dayak Hibun
Kira-kira ribuan tahun lalu di tanah Kalimantan, telah terjadi suatu musibah banjir besar, yang menenggelamkan bumi dan seluruh mahluk ciptaan Tuhan. Pada saat air mulai suruh tampak dipermukaan sebatang kayu setengah buruk mengapung dan bergerak kesana kemari mengikuti hempasan ombak. Singkat cerita setelah air tersebut surut, maka batang kayu tersebut terdampar di pegunungan Sungkung, saat ini merupakan wilayah Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Entah dari mana datangnya di batang kayu tersebut ada sepasang manusia cacat, yang lelaki bernama Sibuta dan perempuan bernama Silaras dengan kondisi lumpuh yang ditemani beberapa binatang hutan seperti pelanduk dan burang gagak dengan setianya mematuk ulat-ulat yang berada di batang kayu tersebut. Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang menyatakan: “hendaklah kalian berdua sapukan buih-buih air yang ada dibatang kayu itu kepadamu yang buta, dan kepada kakimu yang lumpuh maka kalian akan disembuhkan. Kalian hidup menjadi suami isteri kelak menjadi ke turunan yang besar, kemudian mereka melahirkan 8 (delapan) anak yakni:
- Sae Pak Tonggang
- Sae Pak Dulang
- Sae Pak Raya
- Akek Toga Tagung
- Luta Lunda Lundong
- Uten Ma Gawe
- Sarih Pelajang
- Padu Makula
Setelah sekian lama mereka bermukim di pegunungan Sungkung, maka mereka pindah ke beberapa tembawang yang hingga saat ini masih lestari, yaitu:
1. Tembawang Tampun Juah
Setelah lama di pegunungan Sungkung, mereka pindah dan mendiami tembawang ini dan bertemu dengan 7 (tujuh) orang bersaudara yang merupakan anak dewa khayangan. Disini mereka mulai belajar membuka hutan untuk ladang serta bercocok tanam. Mereka mulai mendapat pengetahuan tentang berburu, membuka hutan dan bercocok tanam. Tembawang Tampun Juah telah ditetapkan sebagai Hutan Adat melalui SK Menteri Lingkungan dan Kehutanan Nomor 5771/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/2018 tanggal 7 September 2018 tentang Penetapan Hutan Adat Tembawang Tanpun Juah seluas 651 hektare oleh Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang Kampung Segumon.
2. Tembawang Tampun Entabai
Setelah keturunan mereka semakin banyak, maka pindah ke Tembawang Tampun Entabai namun mereka mendapat gangguan dari setan/hantu Kuok. Hantu Kuok terkenal memakan anak-anak manusia, sehingga mereka mencari cara untuk membunuhnya yakni dengan racun ipoh. Namun Hantu Kuok yang sedang hamil berhasil lolos dan melarikan diri, kemudian dekenal dengan hantu Kuntilanak.
3. Tembawang Ponyi
Dari Tembawang Tampun Entabai mereka pindah ke Tembawang Ponyi saat ini berada di sekitar Sungai Sekayam. Setelah beberapa lama bermukim disini mereka mendapat gangguan berupa balas dendam dari hantu Kuok yang telah melahirkan. Gangguan tersebut berupa perubahan atas seluruh makanan menjadi kotoran. Sehingga mereka meninggalkan tempat ini.
4. Tembawang Penyohok
Pada suatu hari mereka mendapat kulatatau jamur dalam jumlah yang banyak kemudian dimasak dan dimakan bersama. Entah mengapa mereka mabuk dan tidak sadarkan diri, sehingga setelah terbangun mereka tidak saling mengertia atas bahasa yang digunakan. Akhirnya di tembawang ini mereka memisahkan diri dengan membagi wilayah dan harta mereka atas dasar keturunannya. Tembawang Penyohok pada saat ini berada di muara anak Sungai Sekayam, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Penyohok dalam bahasa Hibun diatikan sebagai pemisah. Keturunan Akek Toga Tagung mendapatkan harta berupa sebuah keris emas yang kemudian berkembang menjadi sub suku Dayak Hibun, Panu, Kodant, Junggor Tanjung, Mayao, Dosan, Sami, Mudu, Darok, Tinying, Jangkang dan Pompakng. Mereka memiliki kesamaan bahasa dalam rumpun bekidoh.
5. Tembawang Hibun
Keturunan Akek Toga Tagung yang dipimpin oleh Abai Jandung dan Abai Laja, kemudian mendiami tembawang hibun pada saat ini berada di wilayah kampung Tapang Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti. Keturunan Abai Jandung kemudian berkembang yang merupakan sub suku Dayak Hibun di wilayah 4 (empat) kecamatan yakni 4 kampung di Kecamatan Bonti, 45 kampung di Kecamatan Parindu dan 26 kampung di Kecamatan Tayan Hulu serta 5 kampung di Kecamatan Kembayan. Selanjutnya keturunan Abai Laja berkembang yang merupakan sub suku Dayak Hibun di wilayah Kecamatan Tayan Hilir terdiri atas 12 kampung.